Home / Politics / 4 Pulau Aceh Resmi Milik Siapa? Inilah Dasar Hukumnya!

4 Pulau Aceh Resmi Milik Siapa? Inilah Dasar Hukumnya!

Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan bahwa empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kini secara administratif masuk ke wilayah Aceh. Keputusan ini diambil berdasarkan dokumen administrasi yang dimiliki pemerintah.

“Berlandaskan dokumen yang ada, pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau tersebut menjadi bagian dari Aceh,” ujar Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, dalam konferensi pers yang diadakan di Kantor Presiden, Jakarta, pada hari Selasa, 17 Juni 2025.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, dalam kesempatan yang sama menjelaskan lebih detail mengenai dasar keputusan pemerintah ini. Menurutnya, dokumen asli yang berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992 telah ditemukan.

Dokumen tersebut secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau yang dipersengketakan—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—masuk ke dalam wilayah Aceh.

Lebih lanjut, Tito menjelaskan bahwa dokumen bersejarah ini ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri yang terletak di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada hari Senin, 16 Juni 2025. “Tiga gedung dibongkar untuk mencari dokumen asli kesepakatan antara kedua gubernur,” ungkapnya dalam konferensi pers.

Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas mengenai isu ini melalui konferensi video di sela-sela perjalanannya menuju St. Petersburg, Rusia, pada hari Selasa. Rapat tersebut dihadiri oleh Mendagri, Menteri Sekretaris Negara/Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Empat Pulau Sengketa Milik Aceh Berdasarkan Dokumen 1992

Mendagri Tito Karnavian menguraikan lebih lanjut alasan di balik keputusan pemerintah yang menetapkan keempat pulau sengketa menjadi bagian dari wilayah Aceh. Penemuan dokumen asli yang berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada tahun 1992 menjadi kunci utama.

Mantan Kapolri ini menegaskan bahwa dokumen tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang termasuk dalam wilayah administrasi Aceh.

Tito menjelaskan bahwa sebelumnya, Kemendagri sempat memutuskan keempat pulau tersebut masuk ke wilayah Sumut. Keputusan ini didasarkan pada hasil rapat tim pembakuan rupa bumi pada tahun 2017. Tim tersebut terdiri dari perwakilan dari Kemendagri, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Direktorat Topografi Angkatan Darat, dan Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal). Rapat tersebut menyimpulkan bahwa keempat pulau masuk wilayah Sumut.

Pertimbangan saat itu adalah hasil verifikasi pulau di seluruh Indonesia yang dilakukan pada tahun 2008. Dalam verifikasi tersebut, keempat pulau ini tidak tercatat sebagai bagian dari wilayah Aceh.

Menurut Tito, Pemerintah Aceh tidak memasukkan data keempat pulau tersebut dalam pendataan wilayahnya pada tahun 2008 dan 2009. Sebaliknya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui surat resminya memasukkan keempat pulau yang dipersengketakan ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumut. “Surat-surat ini berasal dari tahun 2008 dan 2009,” jelasnya.

Walaupun demikian, Tito mengakui bahwa Pemerintah Aceh sempat mengajukan keberatan terkait tidak dimasukkannya keempat pulau tersebut ke dalam wilayahnya. Namun, tim verifikasi menilai bahwa koordinat keempat pulau tersebut tidak sesuai dengan wilayah Aceh. Berdasarkan informasi geospasial yang ada, keempat pulau tersebut lebih dekat dan masuk dalam wilayah Tapanuli Tengah.

Tito Akan Merevisi Kepmendagri 2025

Lebih lanjut, Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa pada tahun 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Mendagri (Kepmendagri) yang memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Tapanuli Tengah. Keputusan ini kemudian menuai keberatan dari Gubernur Aceh pada saat itu.

Gubernur Aceh kemudian menyerahkan dokumen berupa surat kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut mengenai batas wilayah Tapanuli Tengah dan Aceh yang dibuat pada tahun 1992. Dokumen ini menegaskan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh.

Berdasarkan dokumen tersebut, Kemendagri sempat mempertimbangkan kemungkinan untuk memasukkan keempat pulau tersebut ke wilayah Aceh. Akan tetapi, karena dokumen yang ada hanyalah berupa fotokopi, Kemendagri khawatir akan implikasi hukum yang mungkin timbul.

Tim pembakuan rupa bumi kemudian berupaya untuk mencari dokumen aslinya. Namun, hingga April 2025, upaya tersebut belum membuahkan hasil. “Sehingga, pada tahun 2025, cakupannya masih Sumatera Utara,” kata Tito.

Titik terang akhirnya muncul ketika dokumen asli tersebut berhasil ditemukan di pusat arsip Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada hari Senin, 16 Juni 2025. Dokumen yang ditemukan adalah Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 24 November 1992. Dokumen tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa keempat pulau tersebut masuk menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.

Tito menekankan pentingnya dokumen tersebut karena memberikan pengakuan resmi atas kesepakatan yang telah dibuat antara kedua gubernur pada tahun 1992. Dokumen ini menjadi landasan hukum yang kuat untuk menetapkan keempat pulau yang disengketakan tersebut sebagai bagian dari wilayah Aceh.

Oleh karena itu, Tito menegaskan bahwa pihaknya akan segera merevisi Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur kode pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk keempat pulau yang sebelumnya menjadi sengketa antara Aceh dan Sumut. Kemendagri juga akan menyampaikan perubahan ini kepada United Nations Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN).

Hendrik Yaputra, Daniel Ahmad Fajri, Dinda Shabrina, dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: