News – , Jakarta – Sebuah laporan mengejutkan datang dari Timur Tengah: Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat dilaporkan menyerang fasilitas nuklir Iran pada Minggu pagi, 22 Juni 2025. Serangan yang dikomandoi oleh Komando Pusat Angkatan Bersenjata Amerika (Centcom) ini menyasar tiga lokasi nuklir utama Iran, yaitu Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Bagaimana operasi militer yang berani ini dilakukan? Dan yang lebih penting, apa peran Israel dalam peristiwa yang berpotensi mengubah peta geopolitik kawasan ini?
Operasi yang diberi nama sandi “Operasi Godam Tengah Malam” atau “Operation Midnight Hammer” ini melibatkan kekuatan udara yang signifikan. Tujuh pesawat pengebom siluman B-2 Spirit menjadi ujung tombak serangan, didukung oleh lebih dari 30 rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam bertenaga nuklir kelas Ohio. “Fasilitas pengayaan nuklir utama Iran telah hancur total,” tegas Presiden Amerika Donald Trump dalam pidatonya yang disiarkan dari Gedung Putih pada Sabtu malam, 21 Juni 2025.
Menurut laporan USNI News, sebuah media yang berafiliasi dengan Institut Angkatan Laut Amerika Serikat, tujuh pesawat pengebom B-2 memulai penerbangan panjang mereka dari Pangkalan Udara Whiteman di Missouri, Amerika Serikat, pada Jumat tengah malam, 20 Juni 2025. Perjalanan pulang pergi yang memakan waktu lebih dari sehari ini berakhir dengan penyerangan tepat sasaran pada Minggu pagi, 22 Juni 2025, pukul 02.10 waktu Iran. Setidaknya dibutuhkan 18 jam bagi pesawat-pesawat siluman tersebut untuk mencapai target mereka di Teheran dari Missouri. Sesampainya di tujuan, mereka menjatuhkan 14 bom GBU-57/B Massive Ordnance Penetrators ke fasilitas pengayaan nuklir di Natanz dan Fordow.
Bom GBU-57/B, dengan berat 30 ton dan panjang 6 meter, dirancang khusus untuk menghancurkan bunker-bunker bawah tanah yang kokoh. Dikembangkan oleh Boeing untuk Angkatan Udara Amerika, bom ini mampu menembus beton setebal 30 meter. Senjata ini dianggap sebagai satu-satunya yang dimiliki Amerika Serikat, atau bahkan Israel, yang mampu meluluhlantakkan fasilitas pengayaan uranium bawah tanah Iran.
“Pasukan Amerika menggunakan total sekitar 75 senjata berpemandu presisi selama operasi ini,” ungkap Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Angkatan Udara Dan Caine dalam konferensi pers di Pentagon pada Ahad, 22 Juni 2025.
Caine menambahkan, dampak dari serangan tersebut sangat signifikan. “Kerusakan akibat perang terakhir akan memakan waktu (untuk dipastikan), tetapi penilaian awal kerusakan akibat pertempuran menunjukkan bahwa ketiga lokasi mengalami kerusakan dan kehancuran yang sangat parah.”
Lebih lanjut, Caine menyatakan bahwa serangan ini merupakan operasi B-2 terbesar dalam sejarah Amerika dan misi B-2 terlama kedua yang pernah dilakukan. Bahkan sebelum serangan dilancarkan, Komandan Centcom Michael Kurilla telah meningkatkan perlindungan pasukan di seluruh wilayah, terutama di Irak, Suriah, dan Teluk. “Pasukan kami dalam keadaan siaga tinggi dan sepenuhnya siap untuk menanggapi setiap serangan balasan Iran atau serangan proksi, yang akan menjadi pilihan yang sangat buruk,” tegasnya.
Untuk mengelabui musuh, misi awal ini juga melibatkan beberapa pesawat umpan yang terbang ke arah barat di atas Samudra Pasifik. “Upaya penipuan ini hanya diketahui oleh sejumlah kecil perencana dan pemimpin utama di Washington dan (Kantor Pusat Centcom),” jelas Caine.
Selain itu, Amerika juga mengirim kelompok B-2 terpisah ke barat dalam misi umpan yang terbang dari Whiteman di atas Pasifik. “Lebih dari 125 pesawat menjadi bagian dari misi tersebut, termasuk pesawat intelijen, pengawasan dan pengintaian serta pengisian bahan bakar,” kata Caine.
Kelompok tujuh pesawat B-2 utama terbang melintasi Atlantik, melewati Laut Mediterania dan menuju Timur Tengah. Perjalanan panjang ini dibantu oleh armada pengisi bahan bakar udara KC-135 dan KC-46A Pegasus yang telah diposisikan untuk mendukung perjalanan pulang-pergi jarak jauh.
Sebelum B-2 mendekati dua fasilitas pengayaan nuklir di Natanz dan Fordo, beberapa pesawat tempur Amerika generasi keempat dan kelima bergabung dengan pesawat pengebom. “Pesawat generasi keempat dan kelima itu bergerak maju di depan paket serangan pada ketinggian dan kecepatan tinggi. Mereka menyapu di depan paket tersebut untuk mencari pesawat tempur musuh dan ancaman rudal permukaan-ke-udara,” kata Caine.
Iran praktis tidak berdaya ketika pesawat pembom tiba. Sistem pertahanan udara negara tersebut telah melemah akibat serangan udara Israel yang terus berlanjut sejak 13 Juni 2025.
Menurut Caine, sebuah kapal selam Amerika yang tidak disebutkan namanya meluncurkan lebih dari dua lusin rudal Tomahawk ke fasilitas nuklir di Isfahan setelah B-2 menjatuhkan bomnya. USNI News melaporkan bahwa USS Georgia, kapal selam bertenaga nuklir Amerika yang mengangkut lebih dari 150 BGM-109 Tomahawk Land Attack Missile (TLAM), memasuki wilayah tersebut pada September 2025.
Caine menyatakan bahwa tidak ada serangan balasan yang terdeteksi terhadap serangan tersebut. “Kami tidak mengetahui adanya tembakan yang dilepaskan ke paket tersebut saat keluar. Jet tempur Iran tidak terbang dan tampaknya sistem rudal permukaan-ke-udara Iran tidak melihat kami,” katanya.
Amerika Serikat telah menempatkan sejumlah armada tempurnya di sekitar Timur Tengah selama perang Iran-Israel. Pada Jumat, 20 Juni 2025, Kelompok Serang Kapal Induk Carl Vinson beroperasi di Laut Arab Utara bersama dengan Kelompok Serang Kapal Induk Nimitz yang akan tiba pada akhir pekan ini. Amerika juga telah menempatkan USS Forrest Sherman dan USS Truxtun, dua kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke, di Laut Merah.
Selain itu, Angkatan Laut Amerika Serikat telah memposisikan lima kapal pertahanan rudal balistik di Laut Mediterania, yakni USS Arleigh Burke, USS Thomas Hudner, USS The Sullivans, USS Paul Ignatius, dan USS Oscar Austin. Kelimanya mampu mencegat rudal balistik yang menyasar Israel atau pangkalan Amerika di sekitar wilayah tersebut.
Selain kehadiran Angkatan Laut, Amerika Serikat memiliki sekitar 40.000 tentara di Timur Tengah yang tersebar di Irak, Kuwait, Bahrain, Yordania, Suriah, Qatar, dan wilayah lainnya.
“Ini adalah misi yang rumit dan berisiko tinggi, yang dilaksanakan dengan keterampilan dan disiplin yang luar biasa oleh pasukan gabungan kita,” kata Caine. Menurutnya, misi ini menunjukkan “jangkauan, koordinasi, dan kemampuan militer Amerika yang tak tertandingi”. Ia sependapat dengan penilaian Presiden Trump bahwa “tidak ada militer lain di dunia yang dapat melakukan ini.”
Menteri Pertahanan Pete Hegseth menegaskan bahwa serangan ini hanya berfokus pada nuklir Iran. “Misi ini bukan, dan tidak pernah, ditujukan untuk pergantian rezim. Presiden mengesahkan operasi presisi ini untuk menetralkan ancaman terhadap kepentingan nasional kita yang ditimbulkan oleh program nuklir Iran dan (mendukung) pertahanan diri kolektif pasukan kita dan sekutu kita, Israel,” kata dia dalam konferensi pers yang sama.
Menanggapi serangan tersebut, para pejabat tinggi Iran mengecam keras tindakan Amerika dan menegaskan hak negara itu untuk membela diri. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menyebut operasi Amerika itu sebagai “pelanggaran yang keterlaluan, serius, dan belum pernah terjadi sebelumnya” terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional.
“Pemerintahan yang suka berperang dan melanggar hukum di Washington bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi berbahaya dan implikasi yang luas dari tindakan agresinya,” kata Araghchi dalam konferensi pers di Istanbul, Turki setelah serangan tersebut.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian juga mengecam serangan Amerika tersebut dan menuding Amerika berada di balik serangan Israel. “Agresi ini menunjukkan bahwa Amerika adalah faktor utama di balik tindakan permusuhan rezim Zionis terhadap Republik Islam Iran,” katanya, seperti dikutip kantor berita Iran IRNA.
Pilihan editor:
* Siapa Bakal Menang dalam Perang Iran-Israel
* Kisah Warga Indonesia di Tengah Perang Iran-Israel