GAZA, KOMPAS.com — Sebuah serangan udara Israel di Kota Gaza dilaporkan telah menewaskan Direktur Rumah Sakit Indonesia, dr. Marwan Al Sultan, bersama beberapa anggota keluarganya pada Rabu (2/7/2025). Insiden tragis ini menjadi pukulan berat bagi sektor kesehatan di Jalur Gaza yang telah berada di ambang kehancuran.
Lubna Al Sultan, salah satu putri dr. Marwan yang selamat dari insiden memilukan tersebut, memberikan kesaksian yang mengguncang. Ia mengungkapkan bahwa rudal yang ditembakkan oleh jet tempur F-16 menghantam tepat di kamar ayahnya, sementara bagian rumah lainnya tetap utuh. “Rudal itu mengenai tepat di tempat ayah saya berada, langsung di kamarnya,” tutur Lubna dengan getir. “Semua ruangan rumah masih utuh kecuali kamar itu. Ayah saya meninggal di dalamnya,” imbuhnya, menggambarkan presisi mengerikan dari serangan tersebut.
Kepergian dr. Al Sultan ini menambah beban berat pada sistem kesehatan yang nyaris lumpuh total di Jalur Gaza, khususnya di wilayah utara yang kini disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lagi memiliki rumah sakit yang berfungsi. Kementerian Kesehatan Gaza dalam pernyataannya mengecam keras kejadian ini, menyebutnya sebagai “kejahatan keji terhadap para tenaga medis kami.” Mereka menggambarkan dr. Al Sultan sebagai sosok yang penuh dedikasi, bekerja tanpa lelah di bawah tekanan luar biasa sepanjang konflik. “Ia adalah simbol ketulusan dan keteguhan dalam melayani rakyat, bahkan di saat-saat paling sulit,” lanjut pernyataan kementerian tersebut, menyoroti pengorbanannya.
Marwan Al Sultan bukan anggota militer atau gerakan politik
Di sisi lain, militer Israel menyatakan bahwa serangan tersebut menargetkan “tokoh penting Hamas” di wilayah Kota Gaza. Mereka menuduh Hamas “secara sistematis melanggar hukum internasional dengan menggunakan infrastruktur sipil dan warga sipil sebagai tameng.” Israel juga menambahkan bahwa mereka sedang meninjau klaim mengenai jatuhnya korban sipil dan menyatakan penyesalan atas insiden tersebut. “IDF menyesalkan jatuhnya korban sipil dan berupaya meminimalkan kerugian itu sebisa mungkin,” demikian pernyataan militer Israel.
Menanggapi klaim militer Israel, Lubna dengan tegas membantah bahwa ayahnya adalah anggota gerakan politik atau militer mana pun. Ia menegaskan bahwa seluruh fokus dr. Al Sultan hanyalah pada para pasien yang dirawatnya selama perang. “Ia hanya peduli pada para pasien yang dirawatnya selama perang. Tidak lebih dari itu,” ujarnya, membantah narasi yang berusaha mengaitkan ayahnya dengan aktivitas militer.
Rumah sakit lumpuh, zona aman diserang
Sebelum insiden tragis yang merenggut nyawanya, dr. Al Sultan menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza, sebuah fasilitas yang sebelumnya telah dinyatakan tidak lagi beroperasi akibat kerusakan parah dari serangkaian serangan. Kondisi rumah sakit yang lumpuh ini menjadi cerminan nyata dari krisis kemanusiaan di Gaza. Tak hanya itu, serangan juga dilaporkan terjadi di zona aman Al-Mawasi, sebuah wilayah di Khan Younis yang sebelumnya dinyatakan sebagai tempat perlindungan oleh militer Israel. Lima orang dilaporkan tewas dan beberapa lainnya terluka, termasuk anak-anak, setelah sebuah tenda yang menampung pengungsi dihantam rudal pada pukul 00.40 waktu setempat. “Saya keluar rumah dan melihat tenda itu terbakar. Guncangannya seperti gempa,” ujar Tamam Abu Rizq kepada AFP, menggambarkan kepanikan di lokasi. Maha Abu Rizq, kerabat korban lainnya, mengungkapkan kekecewaannya dan mempertanyakan klaim zona aman tersebut. “Mereka datang ke sini karena mengira ini tempat aman, tapi malah terbunuh. Apa salah mereka?” tanyanya, mencerminkan rasa tidak percaya dan frustrasi warga.
Tangisan Anak-anak
Di tengah krisis yang tak berkesudahan, gambaran pilu terlihat di Rumah Sakit Nasser. Video yang direkam AFP menunjukkan anak-anak kecil menangis kesakitan di ruang perawatan, tubuh mereka penuh darah dan luka, menjadi saksi bisu kekejaman perang. Sementara itu, para perempuan meratapi jasad sanak keluarga di ruang pemulasaraan jenazah, menandakan duka yang tak berkesudahan. Ekram al-Akhras, yang kehilangan beberapa sepupunya dalam serangan lainnya, menyerukan penghentian kekerasan dengan putus asa. “Siapa pun agamanya, harus bersuara; Cukup! Hentikan perang ini!” tegasnya.
Rachel Cummings, dari organisasi Save the Children yang aktif di Gaza, menceritakan sebuah fakta yang mengharukan sekaligus memilukan. Ia mengungkapkan bahwa anak-anak dalam sesi “wishing circle” (lingkar harapan) justru menyatakan keinginan untuk meninggal. “Mereka bilang ingin mati agar bisa bersama ibu atau ayah mereka yang sudah tewas, atau agar bisa makan dan minum,” katanya kepada wartawan, menggambarkan tingkat keputusasaan yang mendalam di kalangan generasi muda Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan ofensif militer besar-besaran ke Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menyebut lebih dari 57.000 orang telah tewas, termasuk 15.000 anak-anak, menggarisbawahi skala kehancuran dan hilangnya nyawa di wilayah tersebut.