Home / Travel / Kenangan Unik Setiap Negara: Fakta Menarik

Kenangan Unik Setiap Negara: Fakta Menarik

Kali ini, mari kita kembali menyusuri jejak perjalanan ke salah satu destinasi paling eksotis di Asia: Tibet. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, cuplikan pengalaman hidup kami ini mungkin tidak tersaji secara sistematis dan terstruktur mengikuti alur perjalanan sebenarnya, mengingat sebagian besar foto pendukung masih belum ditemukan.

Perlu diketahui, untuk memasuki Tibet, diperlukan visa khusus yang dikeluarkan langsung oleh Pemerintah Tiongkok. Ini karena Tibet dijuluki sebagai “Negara Forbidden Kingdom“, yang berarti meskipun Anda sudah mengantongi visa Tiongkok biasa, itu tidak secara otomatis memberikan izin untuk berkunjung ke wilayah ini.

Pada tahun 2001, kami tiba di Tiongkok dan berkesempatan mengurus visa ke Tibet. Prosesnya tidaklah mudah; di Shanghai, kami menjalani interogasi intens oleh seorang petugas keamanan Pemerintah Tiongkok. Menariknya, petugas tersebut adalah seorang pelajar yang memiliki wewenang penuh untuk memutuskan apakah kami diizinkan mengunjungi Tibet atau tidak. Setelah interogasi panjang, ia akhirnya mengizinkan kami masuk, namun paspor kami ditahan dengan janji akan diantarkan langsung ke bandara.

Tibet sendiri merupakan wilayah tertinggi di dunia, berlokasi di puncak pegunungan Himalaya, sehingga dijuluki “The Roof of the World“. Penduduknya mayoritas beragama Buddha dengan seorang pemimpin spiritual, Dalai Lama, yang telah lama tinggal di luar Tibet.

Dari Shanghai, kami melanjutkan perjalanan dengan pesawat China Southern Airline menuju Konga Airport. Di sana, paspor kami telah diserahkan kembali oleh seorang anggota imigrasi, dan kami pun melanjutkan penerbangan domestik ke Lhasa. Setibanya di Lhasa, kami dijemput oleh pemandu kami, Mr. Campa, beserta seorang sopir. Campa memberi peringatan keras bahwa sopir tersebut juga berfungsi sebagai sekuriti, sehingga kami tidak boleh berbicara mengenai politik selama perjalanan.

Kedatangan kami ternyata tidak pada waktu yang tepat. Saat itu masih dalam musim dingin, dengan suhu beberapa derajat di bawah nol. Setelah diantar ke hotel, kami mendapati bahwa karena tidak ada tamu lain selain kami, pihak hotel hanya menyalakan pemanas kecil. Akibatnya, kami kedinginan dan menderita kekurangan oksigen yang parah, dengan kadar oksigen hanya sekitar 50%. Kondisi ini menyebabkan kami kesakitan dan kesulitan bernapas.

Untuk mengatasi masalah kekurangan oksigen, pihak hotel menawarkan bantal berisi oksigen dengan harga yang cukup mahal. Keesokan harinya, kami harus membayar tagihan atas penggunaan bantal oksigen tersebut. Pengalaman ini menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi kami berdua, mengajarkan kami untuk lebih bersyukur kepada Tuhan atas nikmat oksigen alami yang telah kami hirup secara gratis selama puluhan tahun.

Keesokan harinya, kami mengunjungi sebuah kuil suci di mana terdapat patung Dalai Lama yang telah meninggal. Jasadnya dilapisi dengan emas murni, dan altarnya sendiri diperkirakan terbuat dari sekitar dua ton emas murni. Kami juga berpapasan dengan kerumunan penduduk lokal yang ramai menaiki bukit, berziarah untuk mendapatkan berkat dari pendeta. Kami menyaksikan pemandangan unik di mana sumbangan uang disapu dengan sapu lidi, mencerminkan kepercayaan mereka bahwa uang adalah “sampah dunia” – dibutuhkan, namun bukanlah yang utama dalam hidup ini.

Menurut Mr. Campa, ada tradisi unik mengenai kelahiran anak di Tibet. Bayi yang baru lahir akan dicelupkan ke dalam Sungai Shangpo yang dingin. Bayi yang mampu bertahan hidup akan terus tumbuh, sementara yang tidak tahan akan meninggal dan jasadnya diberikan sebagai makanan ikan di sungai tersebut. Inilah mengapa masyarakat Tibet tidak mengonsumsi ikan.

Selain itu, masyarakat Tibet hanya mandi sebanyak tiga kali seumur hidup mereka: pertama saat lahir (dicelupkan ke Sungai Shangpo), kedua saat menikah, dan ketiga saat meninggal dunia. Bagi mereka yang tinggal di pegunungan, bila meninggal, tulang-tulang jenazah akan dipatahkan dan diberikan kepada burung-burung. Sementara itu, bagi yang meninggal di dataran rendah, mayatnya akan dilemparkan ke sungai agar dimakan ikan-ikan.

Sebagai kesimpulan, pengalaman berjalan terhuyung-huyung di Tibet karena kekurangan asupan oksigen ke otak, ditambah rasa sakit kepala dan kesulitan tidur di malam hari, meninggalkan kesan mendalam bagi kami. Kami berdua berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah lagi kembali ke Tibet. Bagi sahabat yang mungkin memiliki impian untuk berkunjung ke Tibet, alangkah baiknya bila mempertimbangkan ulang dengan matang sebelum memutuskan untuk berangkat.

Terima kasih kepada semua sahabat di Kompasiana yang telah meluangkan waktu untuk membaca artikel ini.

20 Juni 2025.

Salam saya,

Roselina.

Tag: