Home / Politics / Konflik Pulau Sumatera: Aceh vs Sumut, Ada Adu Domba?

Konflik Pulau Sumatera: Aceh vs Sumut, Ada Adu Domba?

Sengketa Empat Pulau: Aceh dan Sumatera Utara Berebut Wilayah, Perjanjian Helsinki Terusik?

Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengubah status Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang dari Provinsi Aceh menjadi milik Provinsi Sumatera Utara, sontak memicu gelombang protes dari masyarakat Aceh. Keputusan ini dianggap melukai hati masyarakat dan mengancam perdamaian yang telah lama terjalin.

Suadi Sulaiman, Wakil Ketua Partai Aceh, dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah pusat seharusnya menghormati batas-batas wilayah Aceh yang telah disepakati dalam Perjanjian Helsinki, sebuah nota kesepahaman damai pasca konflik yang menjadi fondasi rekonsiliasi antara Aceh dan Indonesia. Menurutnya, penyerahan empat pulau ini sama saja dengan menodai perjanjian damai yang susah payah diraih.

“Jangan mengeksploitasi Aceh dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI,” ujar Suadi dengan nada prihatin. Ia bahkan menuding keputusan ini berpotensi mengadu domba antara Aceh dan Sumatera Utara, dua provinsi yang selama ini hidup berdampingan secara harmonis.

Reaksi keras ini muncul karena pemerintah dianggap belum menuntaskan permasalahan klaim wilayah yang masih menggantung antara kedua provinsi. Armand Suparman, seorang pemerhati isu pemerintahan daerah, berpendapat bahwa ada hal-hal yang belum diselesaikan secara komprehensif sebelum keputusan kontroversial ini diambil.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengklaim bahwa pihaknya telah berupaya memediasi pemerintah Aceh dan Sumatera Utara dalam berbagai kesempatan. Namun, upaya tersebut tampaknya belum membuahkan hasil yang memuaskan semua pihak.

Lantas, mengapa sebenarnya Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan menjadi objek sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara?

Keputusan Menteri Dalam Negeri yang Kontroversial

Persoalan ini bermula dari terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau. Melalui keputusan inilah, Kemendagri secara resmi menetapkan Pulau Mangkir Besar, Lipan, Mangkir Kecil, dan Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara.

Upaya Pertemuan Dua Gubernur yang Belum Membuahkan Hasil

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sempat berinisiatif menemui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Banda Aceh untuk membahas masalah ini secara langsung. Bobby berharap pertemuan tersebut dapat meredakan ketegangan dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

“Kami hadir di sini untuk bisa sama-sama meredam atau sama-sama menyepakati apa yang harus kita sepakati bersama,” kata Bobby saat itu. Namun, pertemuan tersebut berlangsung singkat karena Muzakir dikabarkan sedang memiliki agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan.

Reaksi Keras Warga Aceh: Perjanjian Helsinki Dipertaruhkan?

Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya berpegang teguh pada Perjanjian Helsinki, yang menjadi landasan reintegrasi Aceh ke dalam Indonesia pasca konflik. Ia merujuk pada batas wilayah Aceh pada 1 Juli 1956, yang tercantum dalam nota kesepahaman tersebut. Menurutnya, pemahaman yang sama terhadap nota kesepahaman ini sangat penting untuk menjaga perdamaian Aceh yang telah berlangsung lama.

“Dengan situasi Aceh yang sudah sangat-sangat kondusif seperti ini, ada baiknya pemerintah pusat itu, terutama dalam hal ini adalah Mendagri, untuk tidak memercik apa yang bisa menjadi hal-hal inkonsistensinya terhadap proses perdamaian Aceh,” tegas Suadi.

Isu perbatasan 1 Juli 1956 memang kerap menjadi perdebatan. Kajian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 2019 bahkan mencatat bahwa masalah perbatasan ini tidak disertai bukti dan data yang jelas.

Suadi menambahkan bahwa hubungan antara Aceh dan Sumatera Utara selama ini berjalan baik, dan banyak warga Sumatera Utara yang tinggal di Aceh, terutama di Aceh Singkil. Ia khawatir sengketa ini dapat memicu perpecahan.

Kesaksian Nelayan Lokal: Bukti Kepemilikan Aceh Atas Pulau-Pulau Sengketa

Yardi (57), seorang mantan nelayan di Gosong Telaga, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil, dengan lantang menyatakan bahwa keputusan mengubah status empat pulau tersebut harus dipertimbangkan kembali. Ia mengklaim memiliki bukti kuat bahwa pulau-pulau tersebut adalah milik Aceh.

Ia mengaku sebagai saksi sejarah pembuatan tapal batas di pulau-pulau tersebut bersama Dinas Perikanan setempat. “Saya pernah membuat tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Pulau Mangkir Gadang satu dekade yang lalu,” ungkap Yardi.

Yardi juga menceritakan kondisi pulau-pulau tersebut secara detail. Pulau Lipan, katanya, dulunya banyak dihuni binatang berbisa seperti lipan dan kalajengking, dan kini sering tenggelam saat air laut pasang. Sementara Pulau Mangkir Besar dan Mangkir Ketek ditumbuhi tumbuhan liar dan pohon berkayu besar serta pohon kelapa, dan sering dijadikan tempat berlindung bagi nelayan saat badai.

Di Pulau Panjang, menurut Yardi, terdapat bangunan pemerintahan Aceh dan kuburan lama seorang aulia. “Sepengetahuan saya, Pulau Panjang ini juga pernah dihuni oleh orang Gunung Sitoli, Nias, dan ada juga yang menyewa orang Sitiris-tiris [Sumatera Utara],” ujarnya.

Selain itu, media lokal Aceh juga pernah memberitakan tentang warga Aceh bernama Teuku Rusli Hasan yang mengaku sebagai ahli waris Teuku Raja Udah. Hasan mengeklaim bahwa empat pulau tersebut adalah milik keluarganya, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965.

Penjelasan Kemendagri: Letak Geografis Jadi Pertimbangan Utama

Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan bahwa empat pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Sumatera Utara karena lokasinya yang lebih dekat dengan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

“Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah,” kata Safrizal.

Wilayah darat dijadikan sebagai patokan karena belum adanya kesepakatan mengenai batas laut antara Provinsi Sumatera Utara dan Aceh di wilayah tersebut.

Safrizal juga menyebutkan bahwa sengketa pulau-pulau ini sebenarnya sudah mengemuka sejak 2008. Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau di Indonesia.

“Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang,” jelas Safrizal.

Pada 2009, temuan verifikasi tersebut dikonfirmasi oleh gubernur Aceh saat itu, yang menyatakan bahwa jumlah pulau di wilayahnya adalah 260. Konfirmasi tersebut disertai lampiran yang memuat perubahan nama dan koordinat sejumlah pulau.

Pulau-pulau tersebut adalah Mangkir Kecil (semula Pulau Rangit Kecil), Mangkir Besar (dulu Rangit Besar), dan Lipan (dulu Malelo).

Sementara itu, Sumatera Utara juga melaporkan memiliki 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini disengketakan. Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi juga mendapat konfirmasi mengenai jumlah ini pada 2009.

Upaya pengecekan lebih lanjut yang dilakukan Kemendagri menunjukkan bahwa koordinat yang ditetapkan pemerintah Aceh tidak merujuk pada empat pulau tersebut, melainkan ke Pulau Banyak.

Pada 2017, Kemendagri menetapkan empat pulau sebagai bagian dari Sumatera Utara setelah melakukan analisis spasial. Meskipun Provinsi Aceh kemudian merevisi koordinat empat pulau tersebut, sengketa terus berlanjut hingga rapat lintas kementerian pada 2020 menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara.

Klaim Pemerintah Provinsi Aceh: Bukti Kepemilikan yang Kuat

Pemerintah Provinsi Aceh juga mengklaim memiliki sejumlah bukti yang menjadi landasan kepemilikan atas empat pulau yang dipersengketakan.

Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menyebutkan bahwa salah satu buktinya adalah dokumen administrasi kepemilikan atas dermaga, serta surat tanah dari tahun 1965. Selain itu, terdapat juga tugu pemerintah Kabupaten Singkil yang dibangun pada 2008 dan prasasti Mangkir Ketek yang dibangun pada 2018.

Yang terpenting, menurut Syakir, adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, dengan Menteri Dalam Negeri sebagai saksi. “Nah, ini yang menjadi pegangan bagi kita selama ini. Dokumen itu sudah kita sampaikan lengkap dengan peta-petanya kepada kementerian dalam negeri,” kata Syakir.

Syakir juga menyebutkan bahwa dalam sebuah rapat dengan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada 2022, disebutkan bahwa empat pulau yang dipersengketakan adalah bagian dari Aceh.

Terkait kesalahan koordinasi yang dilaporkan Provinsi Aceh kepada pemerintah pusat pada 2009, Syakir menjelaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan revisi.

Pendapat Pengamat: Keputusan Terburu-buru di Tengah Sengketa yang Menggantung

Armand Suparman dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan bahwa sengketa ini mencuat karena keputusan pemerintah pusat diambil saat sengketa antara kedua provinsi masih belum terselesaikan.

“Mungkin dalam proses mengeluarkan keputusan itu ada hal-hal yang belum diselesaikan antara dua belah pihak,” kata Armand.

Armand menekankan pentingnya pemerintah pusat memiliki aturan yang jelas untuk menjembatani konflik klaim wilayah antar pemerintah daerah. Ia mengusulkan pembuatan peraturan pemerintah (PP) yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga dalam menangani sengketa.

Ia juga menyoroti pentingnya kejelasan perbatasan dalam undang-undang pembentukan wilayah otonomi baru agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Upaya Mempertemukan Dua Gubernur: Mencari Solusi Damai

Menanggapi permasalahan ini, Kementerian Dalam Negeri berupaya mempertemukan dua pimpinan daerah, Muzakir Manaf dan Bobby Nasution, dengan difasilitasi oleh Kemenkopolhukam dan Kemendagri.

“Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri, kita tunggu nanti waktunya,” ujar seorang pejabat Kemendagri.

Potensi Migas: Daya Tarik Ekonomi di Balik Sengketa

Di tengah sengketa ini, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyinggung tentang keinginannya untuk berkolaborasi dengan pemerintah Aceh dalam mengolah kekayaan alam di wilayah empat pulau tersebut.

“Kami ingin sama-sama potensinya dikolaborasikan. Artinya, kalaupun ada sumber daya alam, ada potensi pariwisata, semuanya kami harapkan bisa dikelola bersama-sama,” kata Bobby.

Data Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa wilayah lepas laut (off-shore) Singkil memiliki potensi migas yang “cukup besar”.

Wartawan Yuyun di Singkil berkontribusi untuk laporan ini