Di peta dunia, Laut Mati masih tergambar tenang, membiru, terhimpit gurun bebatuan. Titik elevasi air permukaannya berada di 439 meter di bawah permukaan laut (data 2025). Namun, ada sesuatu yang hilang saat kita berdiri di bibir pantainya, atau saat memandang panorama Laut Mati dari jalan antara kota Karak dan Amman. Ada harapan yang seakan sirna, bukan hanya karena airnya yang terus menyusut, tetapi juga harapan untuk mempertahankan keberadaannya.
Mentari senja di Amman masih terasa hangat membakar, meski jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sekelompok turis Indonesia paruh baya, delapan pemuda Yordania, dan dua anak kecil asal Amerika bersama orang tuanya, bergerak hampir serentak menuju Laut Mati. Mereka membawa handuk dan sebotol air mineral. Sore ini, pengunjung resor tempat kami menginap tidak terlalu ramai, menciptakan suasana yang lebih tenang dan santai untuk menikmati keajaiban Laut Mati.
Waktu terbaik untuk mengunjungi Laut Mati adalah pagi hari (06.30-10.00) dan sore hari (16.00-18.00). Saat itu, suhu udara sejuk dan sinar matahari tidak terlalu terik. Sangat disarankan untuk menghindari berendam antara pukul 11.00-15.00 karena suhu ekstrem dan paparan sinar UV dapat mempercepat dehidrasi dan iritasi kulit.
Laut Mati: Eksistensi, Keunikan, dan Khasiatnya
Keunikan Laut Mati terletak pada lokasinya yang berada di lembah jurang Yordania. Ia berbatasan dengan Yordania di timur, wilayah Palestina yang diduduki Israel di barat daya, dan Tepi Barat di barat laut. Laut ini berada di titik terendah di Yordania, yaitu 439 meter di bawah permukaan laut (data 2025). Pada tahun 1930, luas permukaan Laut Mati mencapai 1.050 km². Kini, luasnya hanya sekitar 605 km² (data 2016). Sementara itu, kedalaman rata-ratanya adalah sekitar 188 meter, dengan kedalaman maksimum mencapai 304 meter.
Laut Mati memiliki salinitas (kadar garam) ekstrem, berkisar antara 34-35%, hampir 9-10 kali lebih asin dibandingkan lautan biasa. Massa jenis airnya sekitar 1,24 kg/L, yang membuat tubuh manusia lebih mudah mengapung. Saat musim hujan, kondisi airnya masih mendukung ekosistem mikroba dan ganggang Dunaliella, sehingga airnya dapat berubah warna menjadi sedikit kemerahan.
Sungai Yordan adalah satu-satunya sumber air bagi Laut Mati. Namun, sejak tahun 1960, debit airnya menurun drastis akibat pembangunan bendungan dan pengalihan air. Kondisi ini menyebabkan permukaan air Laut Mati turun sekitar 1 meter per tahun. Apalagi, proyek terencana *Red Sea-Dead Sea Water Conveyance* yang dibatalkan pada tahun 2021 semakin memperparah keprihatinan akan nasib Laut Mati.
Signifikansi Budaya & Sejarah
Laut Mati disebut dalam Alkitab sebagai Laut Garam, Laut Asin, yang berkaitan dengan kisah Sodom dan Gomora. Laut Mati juga merupakan lokasi penemuan Gulungan Laut Mati di gua Qumran (abad ke-3 SM hingga abad ke-1 M), yang sangat penting bagi studi agama dan sejarah.
Dalam Alkitab, Laut Mati memang tidak disebut secara eksplisit dengan nama itu, tetapi dikenal dengan sebutan “Laut Garam” (Salt Sea), seperti dalam Kejadian 14:3: “…mereka semuanya bergabung di lembah Sidim, yaitu Laut Asin.” Ulangan 3:17 dan Yosua 3:16 juga merujuk tempat ini sebagai “Laut Asin”.
Secara geografis, Laut Mati berada di wilayah Yudea dan Edom, di bagian paling rendah dari Cekungan Yordan. Di sinilah dikaitkan lokasi dua kota yang terkenal dalam narasi Alkitab: Sodom dan Gomora, yang disebutkan dalam Kejadian 19.
Dalam kisah tersebut, kota Sodom dan Gomora dihancurkan oleh Tuhan karena dosa dan kejahatan penduduknya. Alkitab menyebutkan bahwa: “Lalu Tuhan menurunkan hujan belerang dan api ke atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan, dari langit.” (Kejadian 19:24).
Tradisi Yahudi dan Kristen percaya bahwa kota-kota itu terletak di sekitar atau bahkan tenggelam di bawah wilayah Laut Mati sekarang. Hal ini memperkuat simbolisme “kematian” dan kutukan ilahi atas wilayah tersebut, sesuai dengan nama modernnya: Laut Mati (Dead Sea).
Pada tahun 1947, seorang gembala Badui secara tidak sengaja menemukan gulungan kuno (Gulungan Laut Mati) di gua dekat wilayah Qumran, di tepi barat Laut Mati. Gulungan-gulungan ini berasal dari sekitar abad ke-3 SM hingga abad ke-1 M, dan merupakan salah satu temuan arkeologis paling penting di abad ke-20.
Isi gulungan tersebut mencakup: salinan kitab-kitab Perjanjian Lama (Tanakh) dalam bahasa Ibrani dan Aram, termasuk kitab Yesaya, Mazmur, dan lainnya; teks non-kanonik yang mencerminkan kehidupan dan kepercayaan komunitas Qumran (yang diduga merupakan kaum Essenes); serta naskah-naskah mengenai hukum, liturgi, dan eskatologi (akhir zaman).
Gulungan Laut Mati merupakan penemuan penting karena mendekatkan para sarjana pada naskah asli Alkitab, yang sebelumnya hanya tersedia dalam salinan abad pertengahan. Gulungan ini memberikan gambaran kehidupan religius dan politik masyarakat Yahudi pada zaman Kedatangan Yesus (zaman Second Temple) dan meningkatkan pemahaman terhadap latar belakang Yahudi awal dan kemunculan agama Kristen dan Yudaisme Rabinik.
Dalam Al-Qur’an, kisah Sodom dan Gomora terkait erat dengan kaum Nabi Luth AS. Meskipun tidak disebutkan secara geografis dengan nama “Laut Mati”, wilayah tersebut diyakini para mufassir klasik maupun arkeolog modern berada di sekitar Laut Mati, sebagaimana dalam Alkitab.
Ayat-ayat Al-Qur’an terkait Laut Mati adalah QS.11: Surat Hud: 82-83: “Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkan negeri kaum Luth (Sodom), dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. Yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim.”
QS.15: Al-Hijr: 76-77: “Dan Sungguh (negeri) itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
Dan QS. 26: Asy-Syu’ara: 160-174, dan QS. 27: An-Naml: 54-58 juga mengisahkan Nabi Luth dan kaumnya yang melakukan kegiatan sodomi dengan nada peringatan keras.
Laut Mati disebut sebagai “Tanda” (Ayat) Kehancuran Masa Lalu. Walaupun Al-Qur’an tidak menyebutkan “Laut Mati” secara langsung, lokasi kehancuran kaum Luth disebut dalam QS.37: Ash-Shaffat: 133-138: “… Dan sesungguhnya kamu (penduduk Makkah) benar-benar melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi dan malam. Maka apakah kamu tidak mengerti?”
Maknanya, lokasi kehancuran itu masih bisa dilihat; dan umat zaman Nabi maupun sekarang, melalui atau mengunjunginya, termasuk yang dimaksud adalah wilayah sekitar Laut Mati. Ini menguatkan bahwa tempat itu menjadi *living monument* atau peringatan nyata.
Banyak ulama dan ahli sejarah Islam menyatakan bahwa wilayah Luth berada di sekitar Bahrul Mayyit (Laut Mati). Bahkan dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir atau Al-Baghawi, disebut bahwa “bekas-bekas azab” itu masih terlihat hingga sekarang.
Dalam konteks agama Islam, Gulungan Laut Mati merupakan sebuah Dimensi Epistemik. Walaupun Gulungan Laut Mati adalah teks Yahudi pra-Islami, penemuannya pada abad ke-20 memberi landasan historis penting untuk memahami Kontinuitas pesan ilahi dari zaman para nabi Bani Israil. Ini merupakan bukti bahwa ajaran Tauhid (monoteisme) telah berkembang sejak lama, juga merupakan Konfirmasi implisit bahwa wahyu Allah memang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad, sesuai ayat: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (terdapat) petunjuk dan cahaya….” (QS.5: Al-Ma’idah: 44).
Dalam konteks ini, Al-Qur’an memosisikan dirinya sebagai *mushaddiqan* (pembenar) dan *muhaiminan* (penjaga/meluruskan) kitab-kitab sebelumnya, dan penemuan Qumran bisa dianggap sebagai validasi sejarah dan tekstual dari narasi para nabi sebelum Islam.
Dengan demikian, Laut Mati bukan hanya situs geologis unik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan historis yang kuat. Ia menjadi simbol kehancuran moral (kisah Sodom-Gomora), tempat penyebutan dalam teks suci Yahudi dan Kristen, dan pusat penemuan naskah keagamaan kuno yang membuka jendela penting dalam studi Alkitab, sejarah agama, dan arkeologi Timur Tengah.
Laut Mati bukan hanya cekungan garam dan gejala geologi. Dalam perspektif wahyu, ia adalah simbol kehancuran akibat kesombongan moral dan sosial. Ia menyimpan kisah kaum Luth yang ditelan bumi, dan di balik lengang airnya yang asin, tersimpan gulungan teks kuno yang berbicara tentang iman, hukum, dan pengharapan.
Bagi umat Islam, wilayah ini menjadi pelajaran dan peringatan nyata bahwa sejarah bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk direnungkan. Bahwa wahyu-wahyu Allah adalah satu mata rantai, dan setiap kota yang tenggelam membawa pesan: “Jangan ulangi kesalahan yang sama.”
Di Laut Mati Jangan Berenang, Tapi Berendam
Di danau Laut Mati, kita tidak disarankan untuk berenang. Berenang akan membuat mata terkena air danau yang sangat asin. Jika air mengenai mata, mata akan sangat perih dan sulit dibuka. Oleh karena itu, membawa air mineral di botol akan membantu menetralisir keperihan mata dengan mengguyur mata secara perlahan untuk mengurangi pengaruh air garam yang masuk ke dalam mata.
Berendam adalah cara yang paling tepat. Dengan berendam, orang bisa mengambang dengan mudah di Laut Mati, sehingga mata terlindungi. Orang bisa mengambang dengan mudah di Laut Mati karena prinsip fisika sederhana yang disebut hukum Archimedes yang berkaitan dengan gaya apung (*buoyant force*). Tapi yang membuatnya istimewa adalah tingkat kerapatan (densitas) air Laut Mati yang sangat tinggi akibat salinitas ekstrem.
Hukum Archimedes menyatakan: “Sebuah benda yang dicelupkan ke dalam fluida akan mengalami gaya ke atas (gaya apung) yang besarnya sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda tersebut.” Dengan kata lain, semakin berat fluida yang “terdorong” oleh tubuh kita, semakin besar gaya angkat ke atas yang kita alami.
Tubuh mengapung secara alami di Laut Mati juga dapat dipahami dengan membandingkan salinitas (kadar garam) dan kerapatan air. Salinitas Laut Mati: ~34-35%, sedangkan salinitas laut biasa: ~3,5%. Kerapatan air laut biasa: ~1,03 kg/L, sementara kerapatan air Laut Mati: ~1,24 kg/L.
Akibatnya, air Laut Mati lebih “berat” daripada tubuh manusia. Tubuh manusia rata-rata punya densitas sekitar 0,98-1,06 kg/L, tergantung lemak dan massa otot. Karena densitas tubuh lebih kecil dari air Laut Mati, tubuh mengapung secara alami.
Jika kita berenang di laut biasa, tubuhmu hanya sebagian kecil yang mengapung, dan kamu tetap perlu menggerakkan tubuh agar tetap di permukaan. Tapi di Laut Mati, kita langsung terdorong ke atas dan bahkan bisa tiduran sambil baca buku tanpa khawatir tenggelam. Rasanya seperti duduk di kasur air.
Tips Cara Efektif Berendam di Laut Mati
Jika Anda berkesempatan berkunjung ke Laut Mati, maka beberapa tips ini bisa menjadi rujukan Anda untuk memanfaatkan semua khasiat Laut Mati. Waktu yang paling tepat dan aman untuk berendam di Laut Mati adalah sekitar 10 hingga 20 menit saja per sesi. Meskipun mengapung di Laut Mati terasa menyenangkan, durasi ini dianggap ideal dan cukup untuk mendapatkan manfaat tanpa menimbulkan risiko bagi kulit atau kesehatan.
Jangan terlalu lama karena Laut Mati memiliki kandungan garam dan mineral yang sangat tinggi (salinitas 34-35%), sehingga bisa menyebabkan iritasi kulit atau sensasi terbakar, terutama jika ada luka kecil. Juga dapat mengeringkan kulit secara berlebihan. Dengan salinitas tinggi, airnya sangat keras (tidak disarankan untuk berenang aktif), karena bisa melukai mata atau saluran pernapasan.
Jika mata Anda terkena air Laut Mati, maka efeknya sangat perih sekali. Kemungkinan besar Anda tidak akan mampu membuka mata dalam beberapa saat. Cara efektif mengatasinya adalah dengan mengalirkan air bersih atau air mineral dalam botol secara perlahan ke bagian mata yang terkena air Laut Mati, sambil terus membuka dan menutup mata, hingga efek perih berkurang. Mungkin efek akhirnya mata Anda sedikit merah, namun akan kembali normal beberapa waktu kemudian. Untuk mempercepat penyembuhan, Anda bisa meneteskan obat tetes mata untuk mengurangi iritasi yang ada.
Untuk Anda yang memiliki luka terbuka, kulit sensitif, atau penyakit kulit tertentu, waktu berendam bisa dikurangi menjadi 5-10 menit saja.
Waktu terbaik berendam di Laut Mati adalah pagi hari (06.30-10.00) atau sore hari (16.00-18.00) saat suhu lebih sejuk dan matahari tidak terlalu terik. Hindari berendam antara pukul 11.00-15.00 karena suhu ekstrem dan paparan sinar UV bisa mempercepat dehidrasi dan iritasi kulit.
Setelah berendam di Laut Mati, segera bilas tubuh Anda dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan residu garam. Gunakan pelembap kulit setelahnya untuk mengembalikan kelembaban tubuh Anda.
Laut Mati dan Khasiat Perawatan Kulit
Selain keunikannya, banyak wisatawan datang ke Laut Mati hanya untuk mendapatkan manfaat bagi perawatan kulitnya. Inilah salah satu keistimewaan *Dead Sea mud* (lumpur Laut Mati) yang terkenal karena khasiat terapeutik dan kosmetiknya. Ini bukan mitos semata, tetapi telah dibuktikan oleh berbagai studi ilmiah dan praktik dermatologi.
Studi dari *International Journal of Dermatology* menyebutkan bahwa terapi dengan lumpur Laut Mati secara signifikan mengurangi gejala psoriasis dan meningkatkan kelembapan kulit. Dalam uji klinis, 95% pengguna masker lumpur Laut Mati mengalami peningkatan tekstur kulit dalam 2 minggu.
Kandungan mineral Dead Sea tinggi dan unik. Lumpur Laut Mati kaya akan mineral-mineral penting yang jarang ditemukan secara alami dalam kombinasi seimbang seperti ini. Beberapa di antaranya: Magnesium (Mg) yang berkhasiat untuk melembabkan kulit, mengurangi peradangan, dan membantu regenerasi sel. Kadar magnesiumnya bisa mencapai 15 kali lebih tinggi dari air laut biasa.
Kalsium (Ca) berkhasiat menguatkan membran sel dan mendorong produksi kolagen. Kalium (K) berkhasiat menjaga keseimbangan kelembaban kulit. Sodium (Na) berkhasiat membersihkan dan melembutkan kulit. Bromida (Br) berkhasiat menenangkan iritasi kulit, memberikan efek anti-inflamasi. Dan Zink (Zn) yang berkhasiat mengontrol minyak, membantu penyembuhan luka dan jerawat.
Lumpur Laut mati juga memberikan efek detoksifikasi dan pembersihan. Lumpur ini bersifat absorban, menyerap minyak berlebih, racun, dan kotoran dari pori-pori kulit, membantu mencegah jerawat dan komedo serta mengangkat sel kulit mati (efek *exfoliating* alami) dan menjaga keseimbangan kelembaban kulit.
*Dead Sea mud* juga sangat bagus efeknya untuk terapeutik dan anti-inflamasi, cocok untuk penderita psoriasis, eksim, dermatitis, dan rosacea. Mineral seperti magnesium dan bromida terbukti mengurangi kemerahan, gatal, dan pembengkakan. Banyak spa di dunia menggunakan lumpur ini dalam bentuk masker wajah dan tubuh.
*Dead Sea mud* (lumpur laut mati) sangat efektif merangsang sirkulasi dan regenerasi kulit. Lumpur ini memperlancar peredaran darah mikro di bawah permukaan kulit, membantu proses penyembuhan alami, memberi efek kencang dan cerah alami setelah pemakaian rutin.
pH alami *Dead Sea mud* terbukti mendukung keseimbangan kulit. Lumpur Laut Mati memiliki pH seimbang yang tidak mengganggu pelindung alami kulit (*skin barrier*), menjadikannya cocok untuk hampir semua jenis kulit, termasuk sensitif.
Eksistensi Geologis yang Menyatu di Dalamnya
Secara geologi, Laut Mati merupakan danau endorheic (danau tanpa aliran keluar) dalam struktur *Dead Sea Graben* yang dikenal sebagai *Rift Jordan*. Yang merupakan bagian dari sistem retakan geologi besar, *Great Rift Valley* yang dibentuk oleh pergerakan lempeng Arab-Afrika.
Patahan ini terbentuk oleh pergerakan lempeng Arab yang bergerak ke arah utara terhadap lempeng Afrika. Proses ini disebut sebagai *transform fault* – dua lempeng saling bergeser horizontal. Gerakan ini menghasilkan subsiden (penurunan kerak bumi) yang menciptakan lembah graben.
Aktivitas pembentukan graben dimulai sejak kira-kira 3 juta tahun yang lalu. Graben ini terus mengalami pergerakan dan penurunan, membuat dasar Laut Mati menjadi titik terendah di permukaan bumi (sekitar 430 meter di bawah permukaan laut dan terus menurun).
Sebagai danau endorheik, Laut Mati hanya memiliki sumber air masuk hanya dari sungai (terutama Sungai Yordan) dan tidak memiliki aliran keluar. Evaporasi (proses penguapan alami) menjadi satu-satunya jalan keluarnya air, menyebabkan kadar garam yang sangat tinggi.
Laut Mati secara geologis adalah salah satu titik terendah dan terunik di dunia, mencerminkan pertemuan proses tektonik aktif, evaporasi ekstrem, dan kondisi iklim gurun. Formasi geologi di sekitar Laut Mati (termasuk formasi garam dan gipsum) menjadi arsip alam yang penting untuk studi perubahan iklim dan aktivitas seismik.
Lapisan garam dan mineral di dasar danau terus bertambah karena tidak adanya aliran keluar. Aktivitas tektonik di kawasan ini juga memicu gempa bumi, menjadikan kawasan ini aktif secara seismik. Lembah ini masih aktif menurun (*subsidence*), dan membentuk struktur geologi seperti *”white smokers”* (erupsi air asin bawah laut) yang mengindikasikan potensi munculnya sinkhole.
Sinkhole, Keprihatinan Utama di Sekitar Laut Mati
Keprihatinan dunia terhadap Laut Mati adalah kemunculan lubang besar yang tiba-tiba terbentuk di permukaan tanah di sekitar Laut Mati, yang disebut sinkhole. Biasanya terjadi akibat runtuhnya tanah di atas rongga bawah tanah yang kosong. Fenomena ini menjadi semakin sering terjadi dan membahayakan kawasan di sekitar Laut Mati dalam beberapa dekade terakhir.
Sinkhole (lubang runtuhan) terjadi ketika lapisan atas tanah kehilangan penopangnya, biasanya karena larutnya material di bawah permukaan. Di Laut Mati, penyebab utamanya adalah larutnya garam di bawah tanah oleh air tawar yang meresap.
Ditengarai fenomena sinkhole di sekitar Laut Mati disebabkan oleh perubahan ekstrem dalam keseimbangan air garam dan air tawar, terutama akibat penyusutan Laut Mati secara drastis. Permukaan air Laut Mati turun lebih dari 1 meter per tahun karena berkurangnya aliran Sungai Yordan dan pengambilan air untuk irigasi dan industri oleh Israel, Palestina, dan Yordania.
Juga disebabkan oleh terbukanya lapisan garam bawah tanah. Ketika permukaan air turun, lapisan garam padat yang tadinya terendam mulai terpapar. Masuknya air tawar ke tanah juga menjadi salah satu penyebabnya. Air hujan atau air irigasi meresap ke dalam tanah dan melarutkan lapisan garam, membentuk rongga bawah tanah, dan runtuhnya tanah di atas rongga turut menjadi salah satu penyebab. Ketika rongga sudah terlalu besar dan tidak mampu menopang permukaan di atasnya, tanah runtuh dan terbentuklah sinkhole.
Keberadaan sinkhole berdampak serius bagi industri pariwisata. Kawasan Ein Gedi, yang dulunya popular untuk turis, kini sebagian ditutup karena bahaya sinkhole. Beberapa daerah wisata, lahan pertanian, dan jalan raya juga ditutup atau rusak parah. Lebih dari 6.000 sinkhole telah teridentifikasi di sepanjang pesisir Laut Mati, khususnya di wilayah Israel dan Yordania. Sinkhole di sekitar Laut Mati bukan hanya fenomena alam biasa, tetapi juga simbol krisis ekologis karena eksploitasi air secara berlebihan dan dampak perubahan iklim.
Sebuah Pernyataan Keprihatinan
Laut ini dulu suci. Bukan karena ayat-ayat mengalir dari seberangnya, tetapi karena keajaiban yang ia simpan dalam diam: air asin yang tak menenggelamkan, lumpur hitam yang menyembuhkan, dan langit yang memantulkan bayangan purba kota-kota yang tenggelam dalam sejarah.
Tapi hari ini, Laut Mati tak lagi utuh. Ia menyusut lebih dari satu meter setiap tahun. Garis pantainya mundur seperti ingatan yang memudar, menyisakan lubang-lubang menganga di tanah, sinkhole namanya. Ada ribuan, dan jumlahnya bertambah, tak jauh dari resor-resor mati dan jalan raya yang runtuh tanpa peringatan.
Di balik angka dan geologi, ada tangan manusia. Sungai Yordan yang dulu memberi hidup, kini diperah habis-habisan. Airnya dialirkan ke ladang-ladang jeruk dan pabrik desalinasi. Di sisi selatan, industri garam raksasa milik Israel dan Yordania menguapkan air dalam kolam-pengering, meninggalkan kristal dan uang, tetapi tak menyisakan kehidupan bagi laut itu sendiri.
Ini bukan hanya krisis air. Ini cerita tentang ketamakan yang dikemas sebagai pembangunan, tentang alam yang dipanen seperti ladang sawah, dan tentang laut yang sekarat tanpa suara.
Solusi pernah diajukan: proyek Laut Merah-Laut Mati, saluran buatan raksasa yang menjanjikan pasokan air dan energi. Tapi proyek itu lebih banyak mengundang kekhawatiran dari para ekolog, yang takut Laut Mati justru kehilangan identitas kimianya, menjadi laut baru yang tak lagi kudus.
Dan di tengah semua itu, Palestina hanya bisa menonton dari kejauhan, terjepit oleh geopolitik dan izin akses yang tak pernah datang.
Maka, Laut Mati tetap tergeletak, mengambang antara legenda dan bencana, menjadi simbol sempurna dunia yang lupa caranya mendengar bisikan bumi.
Suatu saat nanti, mungkin orang akan datang dan bertanya: “Kenapa dinamai Laut Mati?”
Dan seorang anak mungkin menjawab, “Karena kita sendiri yang membunuhnya.”
Jkt/15062025/Ksw132