Bagi sebagian orang, A&W bukan sekadar tempat makan cepat saji. Ia adalah kenangan masa kecil, nostalgia akan root beer dingin dalam gelas frosty yang khas, dan aroma ayam goreng yang renyah di sudut mal atau jalan raya. Tapi siapa sangka, merek legendaris ini sempat hampir tenggelam dalam gelombang persaingan bisnis makanan cepat saji yang begitu keras?
A&W pertama kali berdiri pada 1919 di Lodi, California, oleh Roy W. Allen dan Frank Wright. Nama “A&W” sendiri berasal dari nama belakang mereka. Di era 1950-an hingga 1980-an, A&W menjelma menjadi salah satu jaringan restoran cepat saji terbesar di Amerika, bahkan lebih dulu populer sebelum McDonald’s (A&W Restaurants, n.d.).
Namun kejayaan itu tak bertahan lama. Masuknya kompetitor besar seperti McDonald’s, KFC, Wendy’s, hingga Burger King perlahan menggerus dominasi A&W. Titik kritis terjadi ketika A&W diakuisisi oleh Yum! Brands pada 2002, perusahaan induk yang juga membawahi KFC, Taco Bell, dan Pizza Hut. Sayangnya, A&W tak jadi prioritas dan justru tenggelam karena kurangnya perhatian, strategi pemasaran yang lemah, dan minim inovasi (Yum! Brands Inc., 2010).
Pada tahun 2011, jumlah gerai A&W di Amerika turun drastis hingga tinggal sekitar 700, padahal sebelumnya mencapai lebih dari 2.000 (CNN Indonesia, 2021). Namun seperti pepatah lama: orang yang mengenal akarnya, akan tahu ke mana ia pulang, A&W pun bangkit kembali.
Reborn di Tangan yang Tepat
Tahun 2011 menjadi titik balik penting. A&W dibeli kembali oleh para pemilik waralaba yang dipimpin oleh Kevin Bazner, seorang veteran di perusahaan ini. Bazner membawa semangat baru, kembali ke akar klasik, tapi dengan semangat adaptif. Tiap outlet diberi ruang untuk berinovasi sesuai kebutuhan pasar lokal, tanpa meninggalkan standar kualitas yang khas.
Branding A&W dikembalikan ke tema “nostalgia masa kecil”, namun tidak lupa menyentuh gaya hidup generasi sekarang. A&W kini bukan hanya restoran cepat saji, tapi juga tempat yang membawa nuansa kenangan, rasa aman, dan inovasi dalam satu paket.
A&W di Indonesia: Turun, Bangkit, dan Berlari
Di Indonesia, A&W pertama kali hadir pada 1985. Selama akhir 1980-an hingga 1990-an, A&W masuk fase pertumbuhan dan jadi favorit banyak keluarga. Namun masa keemasannya terhenti di awal 2000-an. Strategi pemasaran tidak cukup agresif, digitalisasi lambat, dan inovasi produk hampir tak terdengar (Media Indonesia, 2023).
Baru pada tahun 2015–2016 muncul secercah harapan. A&W Indonesia meluncurkan Magic Series, yaitu rangkaian dessert dan minuman yang dikembangkan dari inspirasi lokal seperti panna cotta caramel dan milkshake rasa unik. Strategi yang makin matang dilakukan lewat kolaborasi dengan JKT48, sebuah langkah cerdas yang berhasil menjaring segmen keluarga muda dan penggemar budaya pop (Liputan6.com, 2021).
Menurut laporan Media Indonesia, menu Magic Series menyumbang hingga 30% pendapatan baru, dan sebagian besar menggunakan bahan baku lokal. Strategi ini membuktikan bahwa pendekatan budaya lokal yang cerdas bisa mendorong pertumbuhan bisnis.
Outlet Legendaris di Rawamangun
Salah satu outlet A&W yang masih bertahan dan bahkan punya penggemar tersendiri adalah A&W Rawamangun, Jakarta Timur. Terletak di Jl. Paus No. 85, tempat ini buka 24 jam dan jadi tempat favorit mahasiswa, warga sekitar, serta pekerja malam. Meskipun interiornya disebut beberapa pelanggan sudah agak usang, justru nuansa retro itulah yang menjadi daya tarik (Google Maps, 2025).
A&W Rawamangun seperti oase nostalgia di tengah kota. Orang datang bukan hanya untuk makan, tapi juga merasakan kembali suasana “jaman dulu” yang hangat dan sederhana.
Kebangkitan A&W bukan semata-mata kisah bisnis. Ia adalah contoh nyata bagaimana sebuah organisasi bisa bangkit dari keterpurukan jika mau berubah dan belajar. A&W dulu kaku, sentralistik, dan tidak peka terhadap perubahan pasar. Kini mereka lebih terbuka, fleksibel, dan memberi ruang inovasi pada tiap waralaba.
Dalam istilah organisasi, A&W mengalami transformasi dari struktur yang terlalu formal menjadi model yang lebih adaptif. Fokusnya bergeser dari menjual produk menjadi membangun pengalaman emosional konsumen. Ini adalah kisah klasik: bahwa perusahaan tak akan bertahan hanya dengan kenangan lama, tapi dengan keberanian untuk menghidupkan kembali semangat lama dalam bentuk baru.